BAB I
PENDAHULUAN
Angka kejadian Penyakit Menular Seksual (PMS) saat ini
cenderung meningkat di Indonesia. Penyebarannya sulit ditelusuri sumbernya,
sebab tidak pernah dilakukan registrasi terhadap penderita yang ditemukan.
Jumlah penderita yang sempat terdata hanya sebagian kecil dari jumlah penderita
sesungguhnya.
Faktor yang menyebabkan angka kejadian PMS antara lain: 1)
Seks tanpa pelindung, meski kondom tidak seratus persen dapat mencegah PMS,
namun kondom tetap merupakan cara terbaik untuk menghindar dari infeksi. Penggunaan kondom
dapat menurunkan laju penularan PMS.
Selain itu, penggunaan kondom yang konsisten adalah proteksi
terbaik terhadap PMS, 2) Berganti-ganti pasangan, semakin banyak pasangan
seksual semakin besar kemungkinan terekspos suatu PMS, 3) Mulai aktif secara
seksual pada usia dini, kaum muda lebih besar kemungkinannya untuk terkena PMS
daripada orang yang lebih tua.
Hal ini dikarenakan wanita muda khususnya lebih rentan
terhadap PMS karena tubuh mereka lebih kecil dan belum berkembang sempurna
sehingga lebih mudah terinfeksi, selain itu, kaum muda juga lebih jarang
menggunakan kondom saat melakukan hubungan seksual, terlibat perilaku seksual,
dan suka berganti-ganti pasangan, 4) Pengggunaan alkohol, konsumsi alkohol
dapat berpengaruh terhadap kesehatan seksual. Orang yang biasa minum alkohol
bisa jadi kurang selektif memilih pasangan seksual dan menurunkan batasan.
Alkohol dapat membuat seseorang sukar memakai kondom dengan benar maupun sulit
meminta pasangannya menggunakan kondom, 5) Penyalahgunaan obat, prinsipnya
hampir sama dengan penggunaan alkohol, orang yang berhubungan seksual di bawah
pengaruh obat lebih besar kemungkinannya melakukan perilaku seksual beresiko/tanpa
pelindung. Pemakaian obat terlarang juga memudahkan orang lain memaksa
seseorang melakukan perilaku seksual selain itu, penggunaan obat dengan jarum
suntik diasosiasikan dengan peningkatan resiko penularan penyakit lewat darah,
seperti hepatitis dan HIV, yang juga bisa ditransmisikan lewat seks, 6) Seks
untuk uang, Orang yang menjual seks sering berganti-ganti pasangan sehingga
rentan untuk mengalami PMS, 7) Monogami serial, Monogami serial adalah mengencani/menikahi satu orang saja pada suatu masa,
tapi kalau diakumulasi jumlah orang yang dikencani/dinikahi juga banyak.
Perilaku ini juga berbahaya, sebab orang yang
mempraktekkan monogami serial berpikir bahwa mereka saat itu memiliki hubungan
eksklusif sehingga akan tergoda untuk berhenti menggunakan pelindung ketika
berhubungan seksual. Sebenarnya monogami memang efektif mencegah PMS, tapi
hanya pada monogami jangka panjang yang kedua pasangan sudah dites kesehatan
reproduksi, 9) Sudah terkena suatu PMS, penderita yang sudah pernah mengalami
PMS lebih rentan terinfeksi PMS jenis lainnya, 10) Cuma pakai pil KB untuk
kontrasepsi, kadang orang lebih menghindari kehamilan daripada PMS sehingga
mereka memilih pil KB sebagai alat kontrasepsi utama. Karena sudah merasa
terhindar dari kehamilan, mereka enggan memakai kondom. Ini bisa terjadi ketika
orang tidak ingin menuduh pasangannya berpenyakit (sehingga perlu disuruh pakai
kondom) atau memang tidak suka pakai kondom dan menjadikan pil KB sebagai
alasan.
BAB
II
PEMBAHASAN
Pengertian
kehamilan
Kehamilan
adalah pertumbuhan dan perkembangan janin intra uteri mulai sejak konsepsi dan berakhir
sampai permulaan persalinan (Manuaba, 2008). Kehamilan adalah fertilisasi atau
penyatuan dari spermatozoa dan ovum dan dilanjutkan dengan nidasi atau
implantasi (Sarwono, 2008).
Penyakit
menular seksual (PMS) merupakan sekelompok penyakit yang disebabkan oleh
mikroorganisme yang dapat menimbulkan gangguan pada saluran kemih dan
reproduksi. Ibu hamil merupakan kelompok resiko tinggi terhadap PMS. Melakukan
pemeriksaan konfirmatif dengan tujuan untuk mengetahui etiologi yang pasti
tentang ada atau tidaknya penyakit menular seksual yang diderita ibu hamil,
sangat penting dilakukan karena PMS dapat menimbulkan morbiditas dan mortalitas
baik kepada ibu maupun bayi yang dikandung/dilahirkan (Yulifah,dkk, 2009).
Infeksi
menular seksual (IMS) adalah infeksi yang disebabkan oleh bakteri, virus,
parasit, atau jamur,yang penularannya terutama melalui hubungan seksual dari
seorang yang terinfeksi kepada mitra seksualnya. Infeksi menular seksual
merupakan salah satu penyebab infeksi saluran reproduksi (ISR). Tidak semua IMS
menyebabkan ISR, dan sebaliknya tidak semua ISR menyebabkan IMS.
Berdasarkan
penyebabnya, ISR dapat dibedakan menjadi :
Infeksi menular seksual, misalnya
gonoroe, sifilis, trikomoniasis, ulkus mole, herpes genetalis, kondiloma
akuminata, dan infeksi HIV.
Infeksi endogen flora normal komensal
yang tumbuh berlebihan, misalnya kandidosis vaginalis dan vaginosis bacterial.
Infeksi iatrogenic yang disebabkan
bakteri atau mikroorganisme yang masuk ke saluran reproduksi akibat prosedur
medic atau intervensi selama kahamilan, pada waktu partus atau pascapartus dan
dapat juga oleh karena kontaminasi instrument.
Secara
gander perempuan memiliki resiko tinggi terhadap penyakit yang berkaitan dengan
kehamilan dan persalinan, juga terhadap penyakit kronik dan infeksi. Selama
masa kehamilan, perempuan mengalami berbagai perubahan, yang secara alamiah
sebenarnya diperlukan untk kelangsungan hidup janin dalam kandungannya. Namun,
ternyata berbagai perubahan tersebut dapat mengubah kerentaan dan juga
mempermudah terjadinya infeksi selama kehamilan, perubahan tersebut antara lain
sebagai berikut:
v Perubahan
imonologik
Selama
kehamilan terjadi supresi imunukompetensi ibu yang dapat mempengaruhi terjadinya
berbagai penyakti infeksi. Sufresi system imun akan semakin meningkat seiring
dengan berlanjutnya usia kehamilan, serta mempengaruhi perjalanan penyakit
infeksi genital. Kandidosis pada perempuan hamil lebih sering dijumpai dan
dapat lebih parah jika dibandingkan dengan perempuan tidak hamil. Demikian pula
dengan kondiloma akuminata dan herpes genital. Limfosit T jumalhnya berkurang
dalam sampel darah tepi perempuan hamil, tetapi tidak demikian halnya dengan
limfosit B. pengurangan maksimal CD4+ limfosit T terjadi pada trimester ketiga.
Pada
sejumlah besar perempuan yang dievaluasi selama dan setelah kehamilan, tampak
gangguan dalam resfons transmisi limfosit secara in vitro terhadap sejumalh
antigen mikroba selama kehamilan. Proliferasi limfosit in vitro secara bermakna
lebih rendah selama kehamilan diabndingkan periode pascapartus, dan secara
bermakna juga lebih rendah pada perempuan hamil di bandingkan dengan perempuan tidak
hamil.
v Perubahan
anatomi
Anatomi
saluran genital sangat berubah pada saat kehamilan. Dinding vagina menjadi
hipertrofik dan penuh darah. Serviks mengalami hipertrifi, dan semakin luas
daerah epitel kolumnar pada ektoserviks yang terpajan mikroorgansme. Perluasan
ektopi serviks selama kehamilan mengakibatnkan mudahnya infeksi serviks atau re
lanut. Serviks aktivasi laten. Namun hal tersebut belum diteliti lebih lanjut.
Serviks akan mengsekresikan mucus yang sangat kental selama kehamilan,
membentuk mucus plug. Mucus ini umunya dianggap sebagai pengahalang jalanya
mikrorganisme menuju uterus.
v Perubahan
flora mikribial servikovaginal
Flora
vagina merupakan ekosistem heterogen untuk bebagai bakteri anaerob dan bakteri
fakultatif anaerob. Beberapa penelitian menemukan, bahwa selama kehamilan,
sejumlah spesies bakteri yang terdapat di dalam vagina terutama spesies anaerob
berkurang, prevalensi dan kuantitas laktobasilus bertambah, sedangkan bakteri
fakultatif lainnya tidak berubah. Diduga mekanisme yang menyebabkan perubahan
tersebutadalah pH vagina, kandungan glikogen, dan vakularisasi genital bagian
bawah.
Dampak
ISR/IMR Pada Perempuan Hamil
Dampak
IMS pada kehamilan bergantung pada organisme penyebab, lamanya infeksi, dan
usia kehamilan pada saat perempuan terinfeksi. Hasil konsepsi yang tidak sehat
sringkali terjadi akibat IMS, misalnya kematian janin (abortus spontan atau
lahir mati), bayi berat lahir rendah (akibat prematuritas, atau retardasi
pertumbuhan janin dalam rahim ), infeksi kongenital atau perinatal
(kebutaan,pneumonia neonates dan retradasi mental).
Kematian
janin, baik dalam bentuk abortus spontan maupun lahir mati, dapat ditemukan
pada 20-25% perempuan hamio yang menderita sifilis dini, 7-54% perempuan hamil
dengar herpes genital primer, dan pada 4-10 % pada perempuan hamil yang tidak
menderita ISR. Bayi berat lahir rendah (BBLR) dapat dijumpai pada 10-25%
perempuan hamil dengan vaginosis bacterial, 11-15% pada perempuan dengan
trikomoniasis, 30 – 35 % herpes genital primer, 15-50% sifilis dini, dan 2-12%
pada perempuan hamil tanpa IMR/ISR. Infeksi kongenital atau perinatal dapat
ditemukan pada bayi yadng dilahirkan oleh 40-70% perempuan hamil dengan infeksi
klamidia, 30- 68 % perempuan hamil dengan gonoroe, 40- 70% perempuan hamil
dengan sifilis dini, 30-50% perempuan
hamil dengan herpes genital primer, dan tidak ditemukan pada perempuan hamil
tanpa ISR.
Resiki
transmisi dari ibu yang hamil menderita gonoroe kepada janin /neonates
diperikirakan sebesar 30%. Pada infeksi klamidia, resiko penularan terjadinya
konjungitvitis neonates sebesar 25-50%, sedangkan untuk terjadinya pneumonia
sebesar 5-15%. Ibu hamil yang menderita sifilis memiliki resiko trasmisi
sebesar 100% pada sifilis dini, 23% pada sifilis lanjut, dan secara keseluruhan
40-70%. Pada herpes genital, resiko transmisi dari ibu hamil kepada janinnya
lebih tinggi pada saat terjadinya infeksi primer yaitu 30-50%, dibandingkan
pada keadaan rekuren (hanya 0,4 – 8%).
Diagnosis
dan manajeman IMS pada kehamilan dapat ditemukan mordibitas dan mortalitas
meternal maupun janin. Sebagian besar IMS bersifat asimtomatik atau muncul
dengan gejala yang tidak spesifik. Tanpa adanya tingkat kewaspadaan yang tinggi
dan ambang batas tes yang rendah, sujumlah besar kasus IMS dapat terlewatkan,
yang pada akhirnya mengarah pada hasil
perinatal yang tidak diinginkan. Oleh karena itu, riwayat IMS yang lengkap dan
melakukan pemeriksaan skrining yang sesuai pada pasien yang sedang hamil pada
saat pemeriksaan prenatal yan pertama adalah penting.
Dengan
adanya perubahan fisikologik selama kehamilan yang mempengaruhi farmakokinetik
dari terapi medic, eksposur obat ke janin dan pertimbngan keamanaan menyusui
untuk bayi, penatalaksanaan IMS pada perempuan hamil dan pascapersalinan dapat
berbeda dari tatalaksana untuk perempuan tidak hamil. Selain itu, pertimbangan
khusus berkaitan dengan potensin penularan untuk beberapa IMS viral perlu dipetimbangkan dalam menentukan
keamanan dari pemberian air susu ibu (ASI).
Macam
– macam penyakit menular seksual :
1.
Gonoroe
Gonoroe
adalah semua infeksi yang disebabkan oleh Neisseria gonorrohoeae. N. gonoroe di
bawah mikroskop cahaya tampak sebagai diplokokus berbentuk biji kopi dengan
lebar 0,8 µm dan bersifat asam. Kuman ini bersifat gram negative,tampak di luar
dan didalam leukosit polimorfnuklear, tidak dapat bertahan lama di udara bebas,
cepat mati pada keadaan kering, tidak tahan pada suhu di atas 390C,
dan tidak tahan zat desinfektan.
Gambaran
klinik dan perjalanan panyakit pada perempuan berbeda dengan pria. Hal ini
disebabkan perbedaan anatomi fisiologi alat kelamin pria dan wanita. Gonoroe
pada perempuan kebanyakan asimtomatik sehingga sulit untuk menemukan masa
inkubasinya.
Infeksi
pada uretra dapat bersifat simptomatik ataupun asimptomstik, tetapi umunya
jarang terjadi tanpa infeksi pada serviks, kecuali pada perempuan yang telah di
histerektomi.
Keluhan
traktus genitourinarius bawah yang paling sering adalah bertambahnya duh
genital, disuria yang kadang – kadang disertai poliuria, perdarahan anata masa
haid, dan menoragia. Daerah yang paling sering terinfeksi adalah serviks. Pada
pemeriksaan, serviks tampak hiperemis denga erosi dan secret mukopurulen.
Komplikasi
yang sangat erat hubungannya dengan susunan anatomi dan faal genitalia. Infeksi
pada serviks dapat menimbulkan komplikasi salpingitis atau penyakit radang
panggul (PRP). PRP yang simptomatik ataupun asimptomatik dapat mengakibatkan
jaringan parut pada tuba sehingga menyebabkan infertilitas atau kehamilan
ektopik.
Diagnosis
gonoroe dapat dipastikan dengan menemukan N. gonorrhoeae sebagai penyebab, baik
secara mikroskopik maupun kultur (biakan). Sensitivitas dan spesifitas dengan
pewarnaan gram dari sediaan serviks hanya berkisar antara 45-65 %, 90-99%,
sedangkan sensivitas dan spesifitas dengan kultur sebesar 85-95%,> 99%. Oleh
karena itu, untuk menegakkan diagnosis gonoroe pada perempuan perlu dilakukan
kultur. Secara epidemologi pengobatan yang dianjurkan untuk infeksi gonoroe
tanpa komplikasi adalah pengobatan dosis tunggal. Pilihan terapi yang
direkomendasi oleh CDC adalah sefiksim 400 mg per oral, seftriakson 250 mg
intramuscular, siprofloksasin 500 mg per oral, ofloksasin 400 mg per oral,
levofloksasin 250 mg per oral, atau spektinomisin 2 g dosis tunggal
intramuscular.
Infeksi
gonoroe selama kehamilan telah diasosiasikan dengan pelvic inflammatory disease
(PID). Infeksi ini sering ditemukan pada trimester pertama sebelum korion
berfusi dengan desidua dan mengisi kavum uteri. Pada tahap lanjut, Neisseria
gonorrohoeae diasosiasikan dengan ruftur membrane yang premature, kelahiran
premature,korioamnionitis, dan infeksi pascapersalinan. Konjungtivitis
gonokokal, manifestasi tersering dari infeksi perinatal, umumnya ditransmisikan
selama proses persalinan. Jika tidak diterapi, kondisi ini dapat mengarah pada
perforasi kornea dan panoftalmitis. Infeksi neonatal lainnya yang lebih jarang
termasuk meningitis sepsis diseminata dengan arthritis, serta infeksi genital
dan rekatal.
Oleh
karena itu, untuk perempuan hamil dengan resiko tinggi dianjurkan untuk
dialakukan skrining terhadap infeksi gonoroe pada saat dating untuk pertama
kali antenatal care dan juga trimester ketiga kehamilan. Dosis dan obat –
obatan yang diberikan tidal berbeda dengan keadaan tidak hamil. Akat tetapi,
perlu diingatkan pemberian golongan kuinolon pada perempuan hamil tidak
dianjurkan.
Bila
terjadi konjungtivitis gonoroe pada neonates, pengobatan yang diajurkan adalah
pemberian seftrikason 50 – 100 mg/kg BB, intamuskular, dosis tunggal dengan
dosis maksimum 125 mg.
2.
Klamidiasis
Klamidiasis
genital adalah infeksi yang disebabakan oleh bakteri Chlamydia trachomatis,
berukuran 0,2 – 1,5 mikron, berbentuk sferis, tidak bergerak, dan merupakan
parasit intrasel obligat.
Terdapat
3 spesies yang pathogen terhadap manusia yaitu,C. pneumonia, C.psittaci, dan C.
trachomatis sendiri mempunyai 15 macam serovar, serovar A,B,Ba,dan C merupakan
penyebab trachoma endemic, serovar B,C,D,E,F,G,H,I,J, dan K dan M merupakan
penyebab infeksi trakrtus genitourinarius serta pneumonia pada neonates.
Sementara itu, serovar L1,L2,dan L3 menyebabkan penyakit limfogranuloma
verereum. Yang menjadi dasar pembagian berbagai serovar CT adalah ekspresi
major outer membrane protein.
Masa
inkubasi berkisar antara1-3 minggu. Manifestasi klinik infeksi CT merupakan
efek gabungan berbagai factor, yaitu kerusakan jaringan akibat reflikasi CT,
respons inflamasi terhadap CT, dan bahan nerotik dari sel pejamu yang rusak.
Sebagian besar infeksi CT asimptomatik dan tidak menunjukkan gejala klinik
spesifik. Endoseriviks merupakan organ pada perempuan yang paling sering
terinfeksi CT. walaupun umunya infeksi
CT asimptomatik, 37 % perempuan memberi gambaran klinik duh mukopurulen
dan 19 % ektopi hipertrofik. Servisitis dapat ditegakkan bila ditemukan duh
serviks yang mukopurulen, ektopi serviks, odema, dan perdarahan serviks baik
spontan maupun dengan hapusan ringan lidi kapas. Infeksi pada serviks dapat
menyebar melalui rongga endometrium hingga mencapai tuba falloppii. Secara
klinis dapat memberi gejala menoragia dan metroragia.
Sebanyak
10% CT pada serviks akan menyebar secara asendens dan menyebabkan penyakit
radang panggul (PRP). Infeksi CT yang kronis dan / atau rekuren menyebabkan
jaringan parut pada tuba. Komplikasi jangka panjang yang sering adalah
kehamilan ektopik dan infertilitas akibat obstruksi. Komplikasi lain dapat pula
terjadi seperti arthritis reaktif dan perihepatitis.
Perempuan
hamil yang terinfeksi dengan C. trachomatis menunjukkan gejala keluarnya secret
vagina, perdarahan, disuria, dan nyeri panggul. Namun, sebagian besar perempuan
hamil tidak menunjukkan gejala. Pemeriksaan panggul dapat membantu menunjukkan
adanya servisitis. Perdarahan endoserviks juga dapat mengarah pada infeksi
serviks pada kehamilan.
Dampak
infeksi CT pada kehamilan dapat menyebabkan abortus spontan, kelahiran
premature, dan kematian perinatal. Di samping itu, bisa juga mengakibatkan
konjungtivitis pada neonates dan pneumonia infantile. Oleh karena itu, untuk
perempuan hamil dengan resiko tinggi juga dianjurkan untuk skrining terhadap
infeksi CT pada saat dating untuk pertama kali antenatal dan juga pada
trimester III kehamilan.
Diagnosis
dapat ditegakkan dengan mendeteksi CT yang dapat dilakukan melalui beberapa
metode yaitu:
·
Kutur
·
Deteksi antigen secara : direct
fluorescent antibody (DFA), enzyme immune assay/enzyme linked immunororbent
assay (EIA/ELISA) dan rapid atau point of care test
·
Deteksi asam nukleat : hibridisasi probe
deoxyribonucleic acid (DNA), uji amplikasi asam nukleat seperti polymerase
chain reaction (PCR), dan ligase chain
reaction (LCR)
·
Pemeriksaan serologi
Untuk
pengobatan, obat yang diberikan terutama yang dapat mempengaruhi sintesis
protein CT, misalnya golongan
tetrasiklin dan eritromisin. Obat yang dianjurkan adalah doksisiklin 100
mg per oral, 2 kali sehari selama 7 hari atau azitromisin 1 g per oral, dosis
tunggal, atau tetrasiklin 500 mg, per oral 4 kali per hari selama 7 hari, atau
eritromisin 500 mg per oral 4 kali sehari selama 7 hari atau ofloksasin 200 mg,
2 kali sehari selama 9 hari. Untuk kehamilan obat golongan kuinolon dan
tetrasiklin tidak dianjurkan pemakainnya.
Untuk
pengobatan konjungtivitis pada neonates atau pneumonia infantile dianjurkan
pemberian sirop eritromisin, 50 mg per kg BB per oral, per hari dibagi dalam 4
dosis dan diberikan selama 14 hari.
3.
Trikomoniasis
Trikomoniasis
merupakan penyakit infeksi protozoa yang disebabkan oleh Trichomonas Vaginalis
(TV), biasanya ditularkan melalui hubungan seksual dan sering menyerang traktus
urogenitalis bagian bawah baik pada perempuan maupun pria. Dari berbagai
penelitian di Indonesia yang dilakukan pada tahun 1987-1997 pada perempuan
beresiko rendah, dijumpai kasus trikomoniasis sebesara 1,6 – 7,3 %.
Gejala
yang dikeluhkan oleh perempuan dang trikomoniasis adalah keputihan, gatal –
gatal dan iritasi. Tanda dari infeksi tersebut meliputi duh tubuh vagina (42%),
bau (50%) dan edema atau eritema (22-27%). Duh tubuh yang klasik berwarna
kuning kehijauan dan berbusa, tetapi keadaan ini hanya ditemukan pada 10-30 %
kasus. Kolopitis makularis (strawberry cerviks) merupakan tanda klinik yang
spesifik untuk infeksi ini, tetapi jarang ditemukan pada pemeriksaan rutin.
Gejala
klinik pada perempuan hamil tidak banyak berbeda dengan keadaan tidak hamil.
Akan tetapi, bila ditemukan infeksi TV pada trimester kedua kehamilan dapat
mengakibatkan premature rupture membrane, bayi berat lahir rendah (BBLR) dan
abortus. Oleh karena itu, pemeriksaan skrining pada pertama kali antenatal
perlu dilakukan.
Diagnosis
trikomoniasis paling sering ditegakkan dengan melihat trikomonad hidup pada
sediaan langsung duh tubuh penderita dalam larutan NaCl fisiologik. Baku emas
untuk diagnostic adalah kultur. Namun media kultur diamond tidak mudah didapat
dan penggunaanya terutama untuk penelitian.
Untuk
pengobatan hingga saat ini metronidazol merupakan antimikroba yang efektif untuk mengobati trikomoniasis yang dianjurkan
adalah dosis tunggal 2 g secara oral atau dapat jdiberikan dalam dosis harian 2
x 500 mg/hari selama 7 hari. Pemberian metronodazol telah direkomendasikan oleh
FDA selama masa kehamlian.
4.
Vaginosis
bacterial
Vaginosis
bacterial adalah sindrom klinik akibat pergantian lactobasillus spp penghasil H2O2
yang merupakan flora normal vagina dengan bakteri anaerob dalam konsentrasi
tinggi (seperti : bacteroides spp, mobiluncus spp, gardnerella vaginalis, dan
mycoplasma hominis).
Perempuan
dengan vaginosis bacterial dapat tanpa gejala atau mempunyai keluhan dangan bau
vagina yang khas yaitu bau amis, terutama pada waktu / setelah senggama. Bau
tersebut disebabkan adanya amin yang mnguap bila cairan vagina menjadi basa.
Pada
pemeriksaan ditemukan secret yang homogeny, tipis, dan berwarna keabu- abuan.
Tidak ditemukan tanda inflamsi pada vagina dan vulva.
Vaginosis
bacterial telah diasosiasikan dengan gangguan kehamilan termasuk abortus
spontan pada kehamilan trimester pertama dan kedua, kelahiran premature,
rupture membrane yang premature, persalinan premature, bayi lahir dengan berat
badan rendah, koroiamnionitis,endometritis pascapersalinan dan infeksi luka
pascaoperasi sesar. Bukti yang ada saat ini tidak mendukung perlunya skrining
rutin untuk vaginosis bacterial pada perempuan hamil pada populasi umum. Namun,
skrining pada kunjungan pertama prenatal direkomendasikan untuk pasien dengan
riwayat kelahiran premature (misalnya pasien dengan riwayat kelahiran premature
atau rupture membran yang premature).
Sebagian
besar kasus (50-75%) vaginosis bacterial bersifat asimptomatik atau dengan
gejala ringan. Gejala klinik termasuk bau amis seperti ikan atau bau seperti
ammonia yang berasal dari secret vagina, dan secret vagina yang homogen, tidak
menggumpal, abu – abu keputihan, tipis. Disuria dan dispareunia jarang
ditemukan sedangkan pruritas dan inflamasi tidak ada.sekret vagina yang
diasosiasikan dengan vaginosis bakterialis berasal dari vagina dan bukan dari
serviks.
Mengingat
dampak vaginosis bacterial pada kehamilan dan akhir kehamilan, maka sebaiknya
dilakukan skrining minimal pada waktu dating antenatal pertama kali.
Diagnosis
ditegakkan berdasarkan criteria amsel yaitu adanya tiga dari empat tanda –
tanda berikut :
·
Cairan vagina homogen, putih keabu –
abuan, dan melekat pada dinding vagina
·
PH vagina > 4,5
·
Secret vagina barbau amis sebelum atau
setelah penambahan KOH 10%
·
Clue cells pada pemeriksaan mikroskopik
Pengobatan
yang dianjurkan adalah metronidazol 500 mg 2x sehari selam 7 hari, metronidazol
2 g per oral dosis tunggal atau klindamisin per oral 2x300 mg/hari selama 7
hari.
Pada
perempuan hamil jenis obat dan dosisnya sama seperti pada perempuan tidak
hamil.
5.
Sifilis
Sifilis
merupakan penyakit infeksi sistemik disebabkan oleh trefonema pallidum yang
dapat mengenai seluruh organ tubuh, mulai dari kulit, mukosa, jantung hingga
susunan saraf pusat, dan juga dapat tanpa manifestasi lesi di tubuh. Infeksi
terbagi atas beberapa fase, yaitu sifilis primer, sifilis sekunder,sifilis
laten dini dan lanjut, serta neurosifilis (sifilis tersier). Sifilis umunya
ditularkan lewat kontak seksual, namun juga dapat secara vertical pada masa
kehamilan.
Lesi
primer sifilis berupa tukak yang bisanya timbul di daerah genital eksterna
dalam waktu 3 minggu setelah kontak. Pada perempuan kelainan sering ditemukan
dilabia mayora, labia minora, fourchette, atau serviks. Gambaran klinik dapat
khas, akan tetapi dapat juga tidak khas. Lesi awal berupa papul berindurasi
yang tidak nyeri, kemudian permukaanya
mengalami nekrosis dan ulserasi dengan tepi yang meninggi, teraba keras, dan
berbatas tegas. Jumlah ulserasi biasanya hanya satu,namun dapat juga multiple.
Lesi
sekunder ditandai dengan malase, demam, nyeri kepala, limfadenopati
generalisata, ruam generalisata dengan lesi di palmar,plantar, mukosa oral atau
genital, kondiloma lata di daerah intertrigenosa dan alopesia. Lesi kulit
biasanya simetris, dapat berupa macula, papula, papuloskuamosa, dan pustule
yang jarang disertai keluhan gatal. T. palladium banyak ditemukan pada lesi
diselaput lender atau lesi yang basah seperti kondiloma lata.
Sifilis
laten merupakan fase sifilis tanpa gejala klinik dan hanya pemeriksaan
serologic yang reaktif. Hal ini mengidentifikasikan organisme ini masih tetap
ada di dalam tubuh,dan dalam perjalanannya
fase ini dapat berlangsung selama bertahun – tahun, bahkan seumur hidup.
Kurang lebih 2/3 pasien sifilis laten yang tidak diobati akan tetap dalam fase
ini selama hidupnya.
Sifilis
tersier terjadi pada 1/3 pasien yang tidak
diobati. Fase ini dapat terjadi sejak beberapa bulan hingga beberapa
tahun setelah fase laten dimulai T. pallidum menginvasi dan menimbulkan
kerusakan pada system saraf pusat, sitem kardivaskuler, mata, kulit, serta
organ lain. Pada system kardivaskuler dapat terjadi aneurismaaorta dan endokarditis.
Gumma timbul akibat reaksi hipersensitivitas tife lambat terhadap antigen T.
pallidum, lesi tersebut bersifat destruktif dan
biasanya muncul di kulit, tulang, atau organ dalam.
Pada
kehamilan gejala klinik tidak banyak berbeda dengan keadaan tidak hamil, hanya
perlu diwaspadai hasil tes serologi sifilis pada kehamilan normal bisa
memberikan hasil positif palsu. Transmisi treponema dari ibu ke janin umumnya
terjadi setelah plasenta berbentuk utuh, kira – kira sekitar umur kehamilan 16
minggu. Oleh karena itu bila sifilis primer atau sekunder ditemukan pada
kehamilan 16 minggu, kemungkinan untuk timbulnya sifilis congenital lebih
memungkinkan.
Diagnosis
pasti ditegakkan dengan cara menemukan T.pallidum dalam specimen dengan
menggunakan mikroskop lapang pandang gelap, pewarnaan burry atau sel treponema
misalnya : rapid plasma reagen (RPR), venereal disease research laboratory
(VDRL). Hasil positif palsu tes nontreponemal dalam populasi masyarakat umum
mencapai 1-2% (termasuk pada ibu hamil). Tes treponemal menggunakan T. pallidum
subspecies pallidum sebagai antigen, sehingga tes ini merupakan jenis tes
konfirmatif misalnya : trefonema pallidum haemaglutinatiun assay (TPHA).
6.
Genital warts(kutil kelamin)
Genital warts, juga di kenal sebagai kondilomata akuminatadi
sebabkan oleh human papiloma virus( HPV).
Lesi dapat berprofesi selama kehamilan dan sering mengalami regresi
spontan setelah persalinan. Tidak ada komplikasi dalam kehamilan yang di
sebabkan HPV yang di ketahui srperti abortus spontan ataupun persalinan
prematur.HPV tipe 6 dan 11 dapat menyebabkan papilomatosis respiratoris pada
bayi dan anak. Rute tranmisi (misal transplasenta, perinatal, maupun postnatal)
tidak sepenuhya di mengerti. Di perkirakan bahwa virus HPV mungkin di dapat
saat melewati jalan lahir. Nilai preventif dari operasi sesar masih tidak di
ketahui. Oleh karena itu, operasi sesar tidak di rekomendasikan sebagai
prevensi transmisi HPV pad bayi dan
hanya di pertimbangkan pada kasus dengan obsrtuksi jalan lahir atau bila
persalinan pervaginam dapat menimbulkan perdaran brlebihan.
Diagnosis klinik
dari genital warts biasnya sudah cukup.walaupun pemeriksaan serotife
untuk HPV tersedia, hal ini tidak di perlukan untuk diagnosis dan manajemen
genital warts.
Terapi dapat di pertimbangkan, terutama pada pasien
simptomatik,karena lesi dapat menjadi rapuh ketika berprofesi selam kehamilan
atau mengganggu proses persalinan. Krioterapi dan trikloroasetik asid merupakan
terapi yang di rekomendasikan. Karena area genital sangat vaskuler selam
kehamilan dan perdarahn berlebihan dapat pada elektrokauterisasi,
direkomendasikan terapi kauterisasi, jika di indikasikan, di lakukan di rumah
sakit. Imikuimod,5-fluorourasil, podofilin, dan podofilrfeoktoksin di
kontraindikasikan pada kehamilan.
7.
Herpes
genitalis
Herpes genitalis(HG) merupakan IMS virus yan menempati urutan kedua tersering
di dunia dan merupakan penyebab ulkus
genital tersering di negara maju virus herfes simpleks tipe-2(VHS-2) merupakan
penyebab HG tersering (82%), sedangkan virus herpes simpleks tipe-1 (VHS-1) yang lebih sering di kaitkan
dengan lesi di mulut dan bibir, ternyata dapat pula di temukan pada 18% kasus
herfes genital.
Manifestasi klinik HG sangat di pengaruhi oleh faktor
pejamu, pajanan VHS sebelumnya, episode terdahulu dan tife virus. Masa inkubasi
umumnya berkisar 3-7 hari, bahkan dapat lebih lama. Predileksi pada perempuan
dapat di temukan di daerah labya mayor/minor, klitoris, introitus vagina dan
serviks, sedangkan yang lebih jarang di derah perianan, bokong, dan mons pubis.
Episode yang pertama HG dapat primer maupun non-primer.
Episode pertama primer adalah episode penyakit yang
terdapat pada seseorang tanpa di dahului oleh pajanan/ infeksi VHS-1 maupun
VHS-2 sebelunya. Sementara itu , episode pertama non-primer dapat merupakan :
(1) episode penyakit yang terjadi pada seseorang dengan riwayat pajanan /
infeksi VHS-1 atau VHS-2 sebelumnya, atau (2) reaktifasi dari inveksi genital
asimptomatik, atau (3) infeksi genital pada seseorang dengan riwayat infeksi orolabialis
sebelumnya.
Manifestasi klinik yng timbul bervariasi dari ringan
sampai berat. Gejala biasanya diawali dengan rasa terbakar dan gatal di daerah
lesi yang terjadi beberapa jam sebelumnya timbulnya lesi. Selain itu, dapat
pula di sertai gejala konstitusi seperi
malese, demam dan nyeri otot. Lesi tipikal berupa vesikel berkelompok engan dasar eritema yang mudah pecah dan
menimbulkan erosi multipel. Kelenjar getah bening regional dapat membesar dan
nyeri. Masa pelepasan virus pada infeksi primer terjadi kurang lebih 12 hari.,
infeksi oral VHS-1 terdahulu akan memberkan perlindungan parsial terhadap
pajanan infeksi VHS-2, sehingga gejala klinik akibat infeksi VHS-2 sehingga
gejala klinik akibat infeksi VHS-2 menjadi lebih ringan atau subklinik.
Lesi rekuren dapat terjadi dengan gejal klinik umumnya
lebih ringan, penyembuhan lebih cepat, dan masa pelepasan virus berlangsung
kurang dari 5 hari. Herfes genitalis rekulen dapat hanya berupa fisura yang
cepat hilang tanpa gejala.rekulensi HG oleh virus VHS-2 lebih sering di bandingkan
VHS-1. Umumnya rekurensi lebih sering terjadi pada satu tahun pertama setelah
episode pertama, sedangkan tahun-tahun berikutnya lebih jarang.
Dikenal pula keadaan subklinik /asimptomatik, yaitu
keadaan tidak di temukan gejala, terapi pada pemeriksaan serologi di dapatkan
antibodi terhadap VHS. Selain itu, lebih kurang 60% kasus di jumpai sebagai
lesi atipik, dengan gambaran lesi tidak khas, sehingga tidak diduga sebagai HG.
Transmisi virus dapat terjadi melalui kontak seksual
dengan pasangan yang telah terinfeksi,
tetapi juga dapat secara vertikal dari ibu kepada janin yang di kandungnya. Sekitar 70% infeksi
pada neonatus terjadi pada saat persalinan ketika bayi berkontak langsung
melalui jalan lahir dengan duh vagina ibu yang terinfeksi. Selain itu, infeksi
dapat terjadi pada saat janin masih berda di dalam kandungan secara asendens
dari serviks atau vulva, maupun transplasental. Transmisi ini juga dapat
terjadi pada masa asimptomatik,. Resiko tinggi transmisi pada janin akan
terjadi pada keadaan timbul lesi primer pada kehamilan, atau keadaan
seronegatif dengan suami seropositif, atau pemakaian alat monitor pada kulit
kepala bayi dengan ibu seropositif.
Diagnosis secara klinik di tegakkan dengan adanya gejala
khas berupa vesikel berkelompok dengan dasar eritema, dan riwayat gejala serupa
berulang. Pemeriksaan laboratorium paling sederhana adalah uji tzank, akan
tetapi sensetifitas dan spesifisitas pemeriksaan ini umumnya rendah. Deteksi
VHS dengan kultur masih merupakan pemeriksaan baku emas untuk infeksi VHS
genital dini. Pemeriksaan ELISA merupakan pemeriksaan untuk menentukan adanya
antigen atau antibodi VHS dalam seru penderita. Perlu di perhatikan bahwa tes
serologi IgM dan IgG tidak dapat dipakai sebagai pedoman untuk menentukan saat
terjadinya pelepasan virus (viral shedding).
Penatalaksanaan HG pada kehamilan dapat di bedakan antara
perempuan hami dengan episode primer dan perempuan hamil dengan episode
rekuren. Pengobatan dengan asiklovir
harus di berikan kepada semua perempuan yang menderita HG episode primer dalm
kehamilan. Terapi sepresif dengan asiklovir pada 4 minggu terakhir kehamilan
dapat mencegah rekurensi HG pada saat partus. Dianjurkan untuk di lakukan
seksio sesarea terhadap semua perempuan hamil yang datang dengan HG lesi primer
pada ssaat menjelang kelahiran, namun tidak di anjurkan untuk perempuan yang
terserang HG lesi primer pada trimester pertama ataupu kedua.
HG rekurens di hubungkan dengan resiko yang kecil
mendapat herfes neonatus. Pada keadaan perempuan hamil menjelang partus dan
terdapat lesi HG rekurens, bukan merupakan indikasi mutlak untuk melakukan
seksio sesarea.
Dosis asiklovir / valassiklovir yang di anjurkan untuk
infeksi primer
·
Asiklovir
peroral 5 x 200 mg/hari selam 7 hari pada lesi berat asiklovir i.v. 3-5 mg/kgBB/
hari, selam 7-10 hari atau
·
Valasiklovir
2 x 500 mg/hari selama 7 hari.
Untuk infeksi rekurens
·
Asiklovir
5 x 200 mg/hari selam 5 hari atau
·
Valasiklovir
2 x 500 mg/hari selam 5 hari.
Pengobatan untuk neonatus dengan infeksi VHS dapat di
berikan asiklovir 10 mg/kgBB/hari intravena tiap 8 jam selam 10-21 hari.
8.
Infeksi HIV dan AIDS
Acquired immunodeficiency syndrome (AIDS) adalah sindroma dengan gejal penyakit infeksi
oportunistik atau kanker tertentu akibat menurunya sstem kekebalan tubuh oleh
infeksi Human Immunodeficiency Virus
(HIV).
Virus masuk kedalam tubuh manusia terutama melalui
perantara darah, semen, dan sekret vagina. Sebagian besar(75%) penularan
terjadi melalui hubungan seksual. HIV awalnya di kenal dengan nama lhymphadenopathy associated virus (LAV)
merupakan golongan retrovirus dengam materi genetik ribonucleic acid (RNA) yang dapat di ubah menjadi deoxyribonucleic acid (DNA) untuk di
integrasikan kedalam sel pejamu dan di proggram membentuk gen virus. Virus ini
cendrung menyerang sel jenis tertentu, yaitu sel-sel yang mempunyai antigen
permukaan CD4, terutama limposit T yang memegang peranan penting dalam mengatur
dan mempertahan kan sistem kekebalan tubuh.
Infeksi
HIV memberikan gambaran klinik yang tidak spesifik dengan spektrum yang lebar,
mulai dari infeksi tanpa gejala (asimptomatik) pada stadium awal sampai pada
gejala-gejala yang berat pada stadium yang lebih lanjut. Setelah di awali
dengan infeksi akut,akan dapat terjadi kronik asimtomatik selam beberapa tahun
di sertai replikasi virus secara lambat. Kemudian setelah terjadi penurunan
sistem imun yang berat, maka terjadi berbagai infeksi oportunistik dan dapat di
katakan pasien telah masuk pada keadaan AIDS. Perjalanan penyakit lambat dan
gejala-gejala AIDS rata-rata baru timbul 10 tahun sesudah infeksi pertama,
bahkan bisa lebih lama lagi.
Transmisi
vertikal merupakn penyebab tersering infeksi HIV pada bayi dan anak-anak di
amerika serikat. Transmisi HIV dari ibu kepada janin dapat terjadi intrauterin
(5-10%), saat persalin (10-20%) dan pascapersalinan (5-20%). Kelaina yang dapat
terjadi pada janin adalah berat badan lahir rendah, bayi lahir mati, partus
preterm, dan abortus spontan.
Tingkat
infeksi HIV pada perempuan hamil di negara-negara asia si perkirakn belum
melebihi 3-4%, tetapi epideminya berpotensi untuk terjadi lebih besar.
Penelitian prevalensi HIV pada ibu hamil di daerah miskin di jakarta pada tahun
1999-2001 oleh kharbiati mendapatkan angka prevalensi sebesar 2,86%.
Pada
tahun 1999 The institute of medicine
(IOM) telah merekomendasikan pemeriksaan HIV untuk semua perempuan hamil
sepengetahuan perempuan tersebut, disertai hak pasien untuk menolak. Rekomendasi
ini juga diadopsi oleh American Academy
of Pediadtrics, American college of obstetricians and Gynecologist, serta united states public health services
(USPHS).
Antibodi
virus mulai dapat di deteksi kira-kira 3 hingga 6 bulan sesudah infeksi.
Pemeriksaan konfirmasi menggunakan western blot (WB) cukup mahal, sebagai
penggantinya dapat dengan melakukan 3 pemeriksaan ELISA sebagai tes penyaring
mamakai reagen dan tehnik berbeda
Telah
banyak bukti menunjukan bahwa keberadaan IMS meningkatkan kemudahan seseorang
terkena HIV, sehingga IMS dianggap sebagai kofaktor HIV. Oleh karena itu,
supaya pengendalian infeksi HIV dapat di laksanakan dengan melakukan
pengendalian IMS.
Geen opmerkings nie:
Plaas 'n opmerking