Saterdag 04 Mei 2013

KEHAMILAN DENGAN PMS


BAB I
PENDAHULUAN

Penyakit Menular Seksual (PMS) disebut juga veneral (dari kata venus yang berarti Dewi cinta dari Romawi kuno) yang didefinisikan sebagai salah satu akibat yang ditimbulkan karena aktifitas seksual yang tidak sehat sehingga menyebabkan munculnya penyakit menular.

Angka kejadian Penyakit Menular Seksual (PMS) saat ini cenderung meningkat di Indonesia. Penyebarannya sulit ditelusuri sumbernya, sebab tidak pernah dilakukan registrasi terhadap penderita yang ditemukan. Jumlah penderita yang sempat terdata hanya sebagian kecil dari jumlah penderita sesungguhnya.
Faktor yang menyebabkan angka kejadian PMS antara lain: 1) Seks tanpa pelindung, meski kondom tidak seratus persen dapat mencegah PMS, namun kondom tetap merupakan cara terbaik untuk  menghindar dari infeksi. Penggunaan kondom dapat menurunkan laju penularan PMS.
Selain itu, penggunaan kondom yang konsisten adalah proteksi terbaik terhadap PMS, 2) Berganti-ganti pasangan, semakin banyak pasangan seksual semakin besar kemungkinan terekspos suatu PMS, 3) Mulai aktif secara seksual pada usia dini, kaum muda lebih besar kemungkinannya untuk terkena PMS daripada orang yang lebih tua.
Hal ini dikarenakan wanita muda khususnya lebih rentan terhadap PMS karena tubuh mereka lebih kecil dan belum berkembang sempurna sehingga lebih mudah terinfeksi, selain itu, kaum muda juga lebih jarang menggunakan kondom saat melakukan hubungan seksual, terlibat perilaku seksual, dan suka berganti-ganti pasangan, 4) Pengggunaan alkohol, konsumsi alkohol dapat berpengaruh terhadap kesehatan seksual. Orang yang biasa minum alkohol bisa jadi kurang selektif memilih pasangan seksual dan menurunkan batasan. Alkohol dapat membuat seseorang sukar memakai kondom dengan benar maupun sulit meminta pasangannya menggunakan kondom, 5) Penyalahgunaan obat, prinsipnya hampir sama dengan penggunaan alkohol, orang yang berhubungan seksual di bawah pengaruh obat lebih besar kemungkinannya melakukan perilaku seksual beresiko/tanpa pelindung. Pemakaian obat terlarang juga memudahkan orang lain memaksa seseorang melakukan perilaku seksual selain itu, penggunaan obat dengan jarum suntik diasosiasikan dengan peningkatan resiko penularan penyakit lewat darah, seperti hepatitis dan HIV, yang juga bisa ditransmisikan lewat seks, 6) Seks untuk uang, Orang yang menjual seks sering berganti-ganti pasangan sehingga rentan untuk mengalami PMS, 7) Monogami serial, Monogami serial adalah mengencani/menikahi satu orang saja pada suatu masa, tapi kalau diakumulasi jumlah orang yang dikencani/dinikahi juga banyak.
 Perilaku ini juga berbahaya, sebab orang yang mempraktekkan monogami serial berpikir bahwa mereka saat itu memiliki hubungan eksklusif sehingga akan tergoda untuk berhenti menggunakan pelindung ketika berhubungan seksual. Sebenarnya monogami memang efektif mencegah PMS, tapi hanya pada monogami jangka panjang yang kedua pasangan sudah dites kesehatan reproduksi, 9) Sudah terkena suatu PMS, penderita yang sudah pernah mengalami PMS lebih rentan terinfeksi PMS jenis lainnya, 10) Cuma pakai pil KB untuk kontrasepsi, kadang orang lebih menghindari kehamilan daripada PMS sehingga mereka memilih pil KB sebagai alat kontrasepsi utama. Karena sudah merasa terhindar dari kehamilan, mereka enggan memakai kondom. Ini bisa terjadi ketika orang tidak ingin menuduh pasangannya berpenyakit (sehingga perlu disuruh pakai kondom) atau memang tidak suka pakai kondom dan menjadikan pil KB sebagai alasan.


BAB II
PEMBAHASAN
Pengertian kehamilan
Kehamilan adalah pertumbuhan dan perkembangan janin intra uteri mulai sejak konsepsi dan berakhir sampai permulaan persalinan (Manuaba, 2008). Kehamilan adalah fertilisasi atau penyatuan dari spermatozoa dan ovum dan dilanjutkan dengan nidasi atau implantasi (Sarwono, 2008).
Penyakit menular seksual (PMS) merupakan sekelompok penyakit yang disebabkan oleh mikroorganisme yang dapat menimbulkan gangguan pada saluran kemih dan reproduksi. Ibu hamil merupakan kelompok resiko tinggi terhadap PMS. Melakukan pemeriksaan konfirmatif dengan tujuan untuk mengetahui etiologi yang pasti tentang ada atau tidaknya penyakit menular seksual yang diderita ibu hamil, sangat penting dilakukan karena PMS dapat menimbulkan morbiditas dan mortalitas baik kepada ibu maupun bayi yang dikandung/dilahirkan (Yulifah,dkk, 2009).
Infeksi menular seksual (IMS) adalah infeksi yang disebabkan oleh bakteri, virus, parasit, atau jamur,yang penularannya terutama melalui hubungan seksual dari seorang yang terinfeksi kepada mitra seksualnya. Infeksi menular seksual merupakan salah satu penyebab infeksi saluran reproduksi (ISR). Tidak semua IMS menyebabkan ISR, dan sebaliknya tidak semua ISR menyebabkan IMS.
Berdasarkan penyebabnya, ISR dapat dibedakan menjadi :
*      Infeksi menular seksual, misalnya gonoroe, sifilis, trikomoniasis, ulkus mole, herpes genetalis, kondiloma akuminata, dan infeksi HIV.
*      Infeksi endogen flora normal komensal yang tumbuh berlebihan, misalnya kandidosis vaginalis dan vaginosis bacterial.
*      Infeksi iatrogenic yang disebabkan bakteri atau mikroorganisme yang masuk ke saluran reproduksi akibat prosedur medic atau intervensi selama kahamilan, pada waktu partus atau pascapartus dan dapat juga oleh karena kontaminasi instrument.
Secara gander perempuan memiliki resiko tinggi terhadap penyakit yang berkaitan dengan kehamilan dan persalinan, juga terhadap penyakit kronik dan infeksi. Selama masa kehamilan, perempuan mengalami berbagai perubahan, yang secara alamiah sebenarnya diperlukan untk kelangsungan hidup janin dalam kandungannya. Namun, ternyata berbagai perubahan tersebut dapat mengubah kerentaan dan juga mempermudah terjadinya infeksi selama kehamilan, perubahan tersebut antara lain sebagai berikut:
v  Perubahan imonologik
Selama kehamilan terjadi supresi imunukompetensi ibu yang dapat mempengaruhi terjadinya berbagai penyakti infeksi. Sufresi system imun akan semakin meningkat seiring dengan berlanjutnya usia kehamilan, serta mempengaruhi perjalanan penyakit infeksi genital. Kandidosis pada perempuan hamil lebih sering dijumpai dan dapat lebih parah jika dibandingkan dengan perempuan tidak hamil. Demikian pula dengan kondiloma akuminata dan herpes genital. Limfosit T jumalhnya berkurang dalam sampel darah tepi perempuan hamil, tetapi tidak demikian halnya dengan limfosit B. pengurangan maksimal CD4+ limfosit T terjadi pada trimester ketiga.
Pada sejumlah besar perempuan yang dievaluasi selama dan setelah kehamilan, tampak gangguan dalam resfons transmisi limfosit secara in vitro terhadap sejumalh antigen mikroba selama kehamilan. Proliferasi limfosit in vitro secara bermakna lebih rendah selama kehamilan diabndingkan periode pascapartus, dan secara bermakna juga lebih rendah pada perempuan  hamil di bandingkan dengan perempuan tidak hamil.
v  Perubahan anatomi
Anatomi saluran genital sangat berubah pada saat kehamilan. Dinding vagina menjadi hipertrofik dan penuh darah. Serviks mengalami hipertrifi, dan semakin luas daerah epitel kolumnar pada ektoserviks yang terpajan mikroorgansme. Perluasan ektopi serviks selama kehamilan mengakibatnkan mudahnya infeksi serviks atau re lanut. Serviks aktivasi laten. Namun hal tersebut belum diteliti lebih lanjut. Serviks akan mengsekresikan mucus yang sangat kental selama kehamilan, membentuk mucus plug. Mucus ini umunya dianggap sebagai pengahalang jalanya mikrorganisme menuju uterus.
v  Perubahan flora mikribial servikovaginal
Flora vagina merupakan ekosistem heterogen untuk bebagai bakteri anaerob dan bakteri fakultatif anaerob. Beberapa penelitian menemukan, bahwa selama kehamilan, sejumlah spesies bakteri yang terdapat di dalam vagina terutama spesies anaerob berkurang, prevalensi dan kuantitas laktobasilus bertambah, sedangkan bakteri fakultatif lainnya tidak berubah. Diduga mekanisme yang menyebabkan perubahan tersebutadalah pH vagina, kandungan glikogen, dan vakularisasi genital bagian bawah.
Dampak ISR/IMR Pada Perempuan Hamil
Dampak IMS pada kehamilan bergantung pada organisme penyebab, lamanya infeksi, dan usia kehamilan pada saat perempuan terinfeksi. Hasil konsepsi yang tidak sehat sringkali terjadi akibat IMS, misalnya kematian janin (abortus spontan atau lahir mati), bayi berat lahir rendah (akibat prematuritas, atau retardasi pertumbuhan janin dalam rahim ), infeksi kongenital atau perinatal (kebutaan,pneumonia neonates dan retradasi mental).
Kematian janin, baik dalam bentuk abortus spontan maupun lahir mati, dapat ditemukan pada 20-25% perempuan hamio yang menderita sifilis dini, 7-54% perempuan hamil dengar herpes genital primer, dan pada 4-10 % pada perempuan hamil yang tidak menderita ISR. Bayi berat lahir rendah (BBLR) dapat dijumpai pada 10-25% perempuan hamil dengan vaginosis bacterial, 11-15% pada perempuan dengan trikomoniasis, 30 – 35 % herpes genital primer, 15-50% sifilis dini, dan 2-12% pada perempuan hamil tanpa IMR/ISR. Infeksi kongenital atau perinatal dapat ditemukan pada bayi yadng dilahirkan oleh 40-70% perempuan hamil dengan infeksi klamidia, 30- 68 % perempuan hamil dengan gonoroe, 40- 70% perempuan hamil dengan sifilis dini, 30-50%  perempuan hamil dengan herpes genital primer, dan tidak ditemukan pada perempuan hamil tanpa ISR.
Resiki transmisi dari ibu yang hamil menderita gonoroe kepada janin /neonates diperikirakan sebesar 30%. Pada infeksi klamidia, resiko penularan terjadinya konjungitvitis neonates sebesar 25-50%, sedangkan untuk terjadinya pneumonia sebesar 5-15%. Ibu hamil yang menderita sifilis memiliki resiko trasmisi sebesar 100% pada sifilis dini, 23% pada sifilis lanjut, dan secara keseluruhan 40-70%. Pada herpes genital, resiko transmisi dari ibu hamil kepada janinnya lebih tinggi pada saat terjadinya infeksi primer yaitu 30-50%, dibandingkan pada keadaan rekuren (hanya 0,4 – 8%).
Diagnosis dan manajeman IMS pada kehamilan dapat ditemukan mordibitas dan mortalitas meternal maupun janin. Sebagian besar IMS bersifat asimtomatik atau muncul dengan gejala yang tidak spesifik. Tanpa adanya tingkat kewaspadaan yang tinggi dan ambang batas tes yang rendah, sujumlah besar kasus IMS dapat terlewatkan, yang pada akhirnya  mengarah pada hasil perinatal yang tidak diinginkan. Oleh karena itu, riwayat IMS yang lengkap dan melakukan pemeriksaan skrining yang sesuai pada pasien yang sedang hamil pada saat pemeriksaan prenatal yan pertama adalah penting.
Dengan adanya perubahan fisikologik selama kehamilan yang mempengaruhi farmakokinetik dari terapi medic, eksposur obat ke janin dan pertimbngan keamanaan menyusui untuk bayi, penatalaksanaan IMS pada perempuan hamil dan pascapersalinan dapat berbeda dari tatalaksana untuk perempuan tidak hamil. Selain itu, pertimbangan khusus berkaitan dengan potensin penularan untuk beberapa IMS  viral perlu dipetimbangkan dalam menentukan keamanan dari pemberian air susu ibu (ASI).
Macam – macam penyakit menular seksual :
1.      Gonoroe
Gonoroe adalah semua infeksi yang disebabkan oleh Neisseria gonorrohoeae. N. gonoroe di bawah mikroskop cahaya tampak sebagai diplokokus berbentuk biji kopi dengan lebar 0,8 µm dan bersifat asam. Kuman ini bersifat gram negative,tampak di luar dan didalam leukosit polimorfnuklear, tidak dapat bertahan lama di udara bebas, cepat mati pada keadaan kering, tidak tahan pada suhu di atas 390C, dan tidak tahan zat desinfektan.
Gambaran klinik dan perjalanan panyakit pada perempuan berbeda dengan pria. Hal ini disebabkan perbedaan anatomi fisiologi alat kelamin pria dan wanita. Gonoroe pada perempuan kebanyakan asimtomatik sehingga sulit untuk menemukan masa inkubasinya.
Infeksi pada uretra dapat bersifat simptomatik ataupun asimptomstik, tetapi umunya jarang terjadi tanpa infeksi pada serviks, kecuali pada perempuan yang telah di histerektomi.
Keluhan traktus genitourinarius bawah yang paling sering adalah bertambahnya duh genital, disuria yang kadang – kadang disertai poliuria, perdarahan anata masa haid, dan menoragia. Daerah yang paling sering terinfeksi adalah serviks. Pada pemeriksaan, serviks tampak hiperemis denga erosi dan secret mukopurulen.
Komplikasi yang sangat erat hubungannya dengan susunan anatomi dan faal genitalia. Infeksi pada serviks dapat menimbulkan komplikasi salpingitis atau penyakit radang panggul (PRP). PRP yang simptomatik ataupun asimptomatik dapat mengakibatkan jaringan parut pada tuba sehingga menyebabkan infertilitas atau kehamilan ektopik.
Diagnosis gonoroe dapat dipastikan dengan menemukan N. gonorrhoeae sebagai penyebab, baik secara mikroskopik maupun kultur (biakan). Sensitivitas dan spesifitas dengan pewarnaan gram dari sediaan serviks hanya berkisar antara 45-65 %, 90-99%, sedangkan sensivitas dan spesifitas dengan kultur sebesar 85-95%,> 99%. Oleh karena itu, untuk menegakkan diagnosis gonoroe pada perempuan perlu dilakukan kultur. Secara epidemologi pengobatan yang dianjurkan untuk infeksi gonoroe tanpa komplikasi adalah pengobatan dosis tunggal. Pilihan terapi yang direkomendasi oleh CDC adalah sefiksim 400 mg per oral, seftriakson 250 mg intramuscular, siprofloksasin 500 mg per oral, ofloksasin 400 mg per oral, levofloksasin 250 mg per oral, atau spektinomisin 2 g dosis tunggal intramuscular.
Infeksi gonoroe selama kehamilan telah diasosiasikan dengan pelvic inflammatory disease (PID). Infeksi ini sering ditemukan pada trimester pertama sebelum korion berfusi dengan desidua dan mengisi kavum uteri. Pada tahap lanjut, Neisseria gonorrohoeae diasosiasikan dengan ruftur membrane yang premature, kelahiran premature,korioamnionitis, dan infeksi pascapersalinan. Konjungtivitis gonokokal, manifestasi tersering dari infeksi perinatal, umumnya ditransmisikan selama proses persalinan. Jika tidak diterapi, kondisi ini dapat mengarah pada perforasi kornea dan panoftalmitis. Infeksi neonatal lainnya yang lebih jarang termasuk meningitis sepsis diseminata dengan arthritis, serta infeksi genital dan rekatal.
Oleh karena itu, untuk perempuan hamil dengan resiko tinggi dianjurkan untuk dialakukan skrining terhadap infeksi gonoroe pada saat dating untuk pertama kali antenatal care dan juga trimester ketiga kehamilan. Dosis dan obat – obatan yang diberikan tidal berbeda dengan keadaan tidak hamil. Akat tetapi, perlu diingatkan pemberian golongan kuinolon pada perempuan hamil tidak dianjurkan.
Bila terjadi konjungtivitis gonoroe pada neonates, pengobatan yang diajurkan adalah pemberian seftrikason 50 – 100 mg/kg BB, intamuskular, dosis tunggal dengan dosis maksimum 125 mg.
2.      Klamidiasis
Klamidiasis genital adalah infeksi yang disebabakan oleh bakteri Chlamydia trachomatis, berukuran 0,2 – 1,5 mikron, berbentuk sferis, tidak bergerak, dan merupakan parasit intrasel obligat.
Terdapat 3 spesies yang pathogen terhadap manusia yaitu,C. pneumonia, C.psittaci, dan C. trachomatis sendiri mempunyai 15 macam serovar, serovar A,B,Ba,dan C merupakan penyebab trachoma endemic, serovar B,C,D,E,F,G,H,I,J, dan K dan M merupakan penyebab infeksi trakrtus genitourinarius serta pneumonia pada neonates. Sementara itu, serovar L1,L2,dan L3 menyebabkan penyakit limfogranuloma verereum. Yang menjadi dasar pembagian berbagai serovar CT adalah ekspresi major outer membrane protein.
Masa inkubasi berkisar antara1-3 minggu. Manifestasi klinik infeksi CT merupakan efek gabungan berbagai factor, yaitu kerusakan jaringan akibat reflikasi CT, respons inflamasi terhadap CT, dan bahan nerotik dari sel pejamu yang rusak. Sebagian besar infeksi CT asimptomatik dan tidak menunjukkan gejala klinik spesifik. Endoseriviks merupakan organ pada perempuan yang paling sering terinfeksi CT. walaupun umunya infeksi  CT asimptomatik, 37 % perempuan memberi gambaran klinik duh mukopurulen dan 19 % ektopi hipertrofik. Servisitis dapat ditegakkan bila ditemukan duh serviks yang mukopurulen, ektopi serviks, odema, dan perdarahan serviks baik spontan maupun dengan hapusan ringan lidi kapas. Infeksi pada serviks dapat menyebar melalui rongga endometrium hingga mencapai tuba falloppii. Secara klinis dapat memberi gejala menoragia dan metroragia.
Sebanyak 10% CT pada serviks akan menyebar secara asendens dan menyebabkan penyakit radang panggul (PRP). Infeksi CT yang kronis dan / atau rekuren menyebabkan jaringan parut pada tuba. Komplikasi jangka panjang yang sering adalah kehamilan ektopik dan infertilitas akibat obstruksi. Komplikasi lain dapat pula terjadi seperti arthritis reaktif dan perihepatitis.
Perempuan hamil yang terinfeksi dengan C. trachomatis menunjukkan gejala keluarnya secret vagina, perdarahan, disuria, dan nyeri panggul. Namun, sebagian besar perempuan hamil tidak menunjukkan gejala. Pemeriksaan panggul dapat membantu menunjukkan adanya servisitis. Perdarahan endoserviks juga dapat mengarah pada infeksi serviks pada kehamilan.
Dampak infeksi CT pada kehamilan dapat menyebabkan abortus spontan, kelahiran premature, dan kematian perinatal. Di samping itu, bisa juga mengakibatkan konjungtivitis pada neonates dan pneumonia infantile. Oleh karena itu, untuk perempuan hamil dengan resiko tinggi juga dianjurkan untuk skrining terhadap infeksi CT pada saat dating untuk pertama kali antenatal dan juga pada trimester III kehamilan.
Diagnosis dapat ditegakkan dengan mendeteksi CT yang dapat dilakukan melalui beberapa metode yaitu:
·         Kutur
·         Deteksi antigen secara : direct fluorescent antibody (DFA), enzyme immune assay/enzyme linked immunororbent assay (EIA/ELISA) dan rapid atau point of care test
·         Deteksi asam nukleat : hibridisasi probe deoxyribonucleic acid (DNA), uji amplikasi asam nukleat seperti polymerase chain reaction  (PCR), dan ligase chain reaction (LCR)
·         Pemeriksaan serologi
Untuk pengobatan, obat yang diberikan terutama yang dapat mempengaruhi sintesis protein CT, misalnya golongan  tetrasiklin dan eritromisin. Obat yang dianjurkan adalah doksisiklin 100 mg per oral, 2 kali sehari selama 7 hari atau azitromisin 1 g per oral, dosis tunggal, atau tetrasiklin 500 mg, per oral 4 kali per hari selama 7 hari, atau eritromisin 500 mg per oral 4 kali sehari selama 7 hari atau ofloksasin 200 mg, 2 kali sehari selama 9 hari. Untuk kehamilan obat golongan kuinolon dan tetrasiklin tidak dianjurkan pemakainnya.
Untuk pengobatan konjungtivitis pada neonates atau pneumonia infantile dianjurkan pemberian sirop eritromisin, 50 mg per kg BB per oral, per hari dibagi dalam 4 dosis dan diberikan selama 14 hari.
3.      Trikomoniasis
Trikomoniasis merupakan penyakit infeksi protozoa yang disebabkan oleh Trichomonas Vaginalis (TV), biasanya ditularkan melalui hubungan seksual dan sering menyerang traktus urogenitalis bagian bawah baik pada perempuan maupun pria. Dari berbagai penelitian di Indonesia yang dilakukan pada tahun 1987-1997 pada perempuan beresiko rendah, dijumpai kasus trikomoniasis sebesara 1,6 – 7,3 %.
Gejala yang dikeluhkan oleh perempuan dang trikomoniasis adalah keputihan, gatal – gatal dan iritasi. Tanda dari infeksi tersebut meliputi duh tubuh vagina (42%), bau (50%) dan edema atau eritema (22-27%). Duh tubuh yang klasik berwarna kuning kehijauan dan berbusa, tetapi keadaan ini hanya ditemukan pada 10-30 % kasus. Kolopitis makularis (strawberry cerviks) merupakan tanda klinik yang spesifik untuk infeksi ini, tetapi jarang ditemukan pada pemeriksaan rutin.
Gejala klinik pada perempuan hamil tidak banyak berbeda dengan keadaan tidak hamil. Akan tetapi, bila ditemukan infeksi TV pada trimester kedua kehamilan dapat mengakibatkan premature rupture membrane, bayi berat lahir rendah (BBLR) dan abortus. Oleh karena itu, pemeriksaan skrining pada pertama kali antenatal perlu dilakukan.
Diagnosis trikomoniasis paling sering ditegakkan dengan melihat trikomonad hidup pada sediaan langsung duh tubuh penderita dalam larutan NaCl fisiologik. Baku emas untuk diagnostic adalah kultur. Namun media kultur diamond tidak mudah didapat dan penggunaanya terutama untuk penelitian.
Untuk pengobatan hingga saat ini metronidazol merupakan antimikroba yang efektif  untuk mengobati trikomoniasis yang dianjurkan adalah dosis tunggal 2 g secara oral atau dapat jdiberikan dalam dosis harian 2 x 500 mg/hari selama 7 hari. Pemberian metronodazol telah direkomendasikan oleh FDA selama masa kehamlian.
4.      Vaginosis bacterial
Vaginosis bacterial adalah sindrom klinik akibat pergantian lactobasillus spp penghasil H2O2 yang merupakan flora normal vagina dengan bakteri anaerob dalam konsentrasi tinggi (seperti : bacteroides spp, mobiluncus spp, gardnerella vaginalis, dan mycoplasma hominis).
Perempuan dengan vaginosis bacterial dapat tanpa gejala atau mempunyai keluhan dangan bau vagina yang khas yaitu bau amis, terutama pada waktu / setelah senggama. Bau tersebut disebabkan adanya amin yang mnguap bila cairan vagina menjadi basa.
Pada pemeriksaan ditemukan secret yang homogeny, tipis, dan berwarna keabu- abuan. Tidak ditemukan tanda inflamsi pada vagina dan vulva.
Vaginosis bacterial telah diasosiasikan dengan gangguan kehamilan termasuk abortus spontan pada kehamilan trimester pertama dan kedua, kelahiran premature, rupture membrane yang premature, persalinan premature, bayi lahir dengan berat badan rendah, koroiamnionitis,endometritis pascapersalinan dan infeksi luka pascaoperasi sesar. Bukti yang ada saat ini tidak mendukung perlunya skrining rutin untuk vaginosis bacterial pada perempuan hamil pada populasi umum. Namun, skrining pada kunjungan pertama prenatal direkomendasikan untuk pasien dengan riwayat kelahiran premature (misalnya pasien dengan riwayat kelahiran premature atau rupture membran yang premature).
Sebagian besar kasus (50-75%) vaginosis bacterial bersifat asimptomatik atau dengan gejala ringan. Gejala klinik termasuk bau amis seperti ikan atau bau seperti ammonia yang berasal dari secret vagina, dan secret vagina yang homogen, tidak menggumpal, abu – abu keputihan, tipis. Disuria dan dispareunia jarang ditemukan sedangkan pruritas dan inflamasi tidak ada.sekret vagina yang diasosiasikan dengan vaginosis bakterialis berasal dari vagina dan bukan dari serviks.
Mengingat dampak vaginosis bacterial pada kehamilan dan akhir kehamilan, maka sebaiknya dilakukan skrining minimal pada waktu dating antenatal pertama kali.
Diagnosis ditegakkan berdasarkan criteria amsel yaitu adanya tiga dari empat tanda – tanda berikut :
·         Cairan vagina homogen, putih keabu – abuan, dan melekat pada dinding vagina
·         PH vagina > 4,5
·         Secret vagina barbau amis sebelum atau setelah penambahan KOH 10%
·         Clue cells pada pemeriksaan mikroskopik
Pengobatan yang dianjurkan adalah metronidazol 500 mg 2x sehari selam 7 hari, metronidazol 2 g per oral dosis tunggal atau klindamisin per oral 2x300 mg/hari selama 7 hari.
Pada perempuan hamil jenis obat dan dosisnya sama seperti pada perempuan tidak hamil.
5.      Sifilis
Sifilis merupakan penyakit infeksi sistemik disebabkan oleh trefonema pallidum yang dapat mengenai seluruh organ tubuh, mulai dari kulit, mukosa, jantung hingga susunan saraf pusat, dan juga dapat tanpa manifestasi lesi di tubuh. Infeksi terbagi atas beberapa fase, yaitu sifilis primer, sifilis sekunder,sifilis laten dini dan lanjut, serta neurosifilis (sifilis tersier). Sifilis umunya ditularkan lewat kontak seksual, namun juga dapat secara vertical pada masa kehamilan.
Lesi primer sifilis berupa tukak yang bisanya timbul di daerah genital eksterna dalam waktu 3 minggu setelah kontak. Pada perempuan kelainan sering ditemukan dilabia mayora, labia minora, fourchette, atau serviks. Gambaran klinik dapat khas, akan tetapi dapat juga tidak khas. Lesi awal berupa papul berindurasi yang tidak  nyeri, kemudian permukaanya mengalami nekrosis dan ulserasi dengan tepi yang meninggi, teraba keras, dan berbatas tegas. Jumlah ulserasi biasanya hanya satu,namun dapat juga multiple.
Lesi sekunder ditandai dengan malase, demam, nyeri kepala, limfadenopati generalisata, ruam generalisata dengan lesi di palmar,plantar, mukosa oral atau genital, kondiloma lata di daerah intertrigenosa dan alopesia. Lesi kulit biasanya simetris, dapat berupa macula, papula, papuloskuamosa, dan pustule yang jarang disertai keluhan gatal. T. palladium banyak ditemukan pada lesi diselaput lender atau lesi yang basah seperti kondiloma lata.
Sifilis laten merupakan fase sifilis tanpa gejala klinik dan hanya pemeriksaan serologic yang reaktif. Hal ini mengidentifikasikan organisme ini masih tetap ada di dalam tubuh,dan dalam perjalanannya  fase ini dapat berlangsung selama bertahun – tahun, bahkan seumur hidup. Kurang lebih 2/3 pasien sifilis laten yang tidak diobati akan tetap dalam fase ini selama hidupnya.
Sifilis tersier terjadi pada 1/3 pasien yang tidak  diobati. Fase ini dapat terjadi sejak beberapa bulan hingga beberapa tahun setelah fase laten dimulai T. pallidum menginvasi dan menimbulkan kerusakan pada system saraf pusat, sitem kardivaskuler, mata, kulit, serta organ lain. Pada system kardivaskuler dapat terjadi aneurismaaorta dan endokarditis. Gumma timbul akibat reaksi hipersensitivitas tife lambat terhadap antigen T. pallidum, lesi tersebut bersifat destruktif dan  biasanya muncul di kulit, tulang, atau organ dalam.
Pada kehamilan gejala klinik tidak banyak berbeda dengan keadaan tidak hamil, hanya perlu diwaspadai hasil tes serologi sifilis pada kehamilan normal bisa memberikan hasil positif palsu. Transmisi treponema dari ibu ke janin umumnya terjadi setelah plasenta berbentuk utuh, kira – kira sekitar umur kehamilan 16 minggu. Oleh karena itu bila sifilis primer atau sekunder ditemukan pada kehamilan 16 minggu, kemungkinan untuk timbulnya sifilis congenital lebih memungkinkan.
Diagnosis pasti ditegakkan dengan cara menemukan T.pallidum dalam specimen dengan menggunakan mikroskop lapang pandang gelap, pewarnaan burry atau sel treponema misalnya : rapid plasma reagen (RPR), venereal disease research laboratory (VDRL). Hasil positif palsu tes nontreponemal dalam populasi masyarakat umum mencapai 1-2% (termasuk pada ibu hamil). Tes treponemal menggunakan T. pallidum subspecies pallidum sebagai antigen, sehingga tes ini merupakan jenis tes konfirmatif misalnya : trefonema pallidum haemaglutinatiun assay (TPHA).
6.                  Genital warts(kutil kelamin)
Genital warts, juga di kenal sebagai kondilomata akuminatadi sebabkan oleh human papiloma virus( HPV).  Lesi dapat berprofesi selama kehamilan dan sering mengalami regresi spontan setelah persalinan. Tidak ada komplikasi dalam kehamilan yang di sebabkan HPV yang di ketahui srperti abortus spontan ataupun persalinan prematur.HPV tipe 6 dan 11 dapat menyebabkan papilomatosis respiratoris pada bayi dan anak. Rute tranmisi (misal transplasenta, perinatal, maupun postnatal) tidak sepenuhya di mengerti. Di perkirakan bahwa virus HPV mungkin di dapat saat melewati jalan lahir. Nilai preventif dari operasi sesar masih tidak di ketahui. Oleh karena itu, operasi sesar tidak di rekomendasikan sebagai prevensi transmisi HPV pad bayi  dan hanya di pertimbangkan pada kasus dengan obsrtuksi jalan lahir atau bila persalinan pervaginam dapat menimbulkan perdaran brlebihan.
Diagnosis klinik  dari genital warts biasnya sudah cukup.walaupun pemeriksaan serotife untuk HPV tersedia, hal ini tidak di perlukan untuk diagnosis dan manajemen genital warts.
Terapi dapat di pertimbangkan, terutama pada pasien simptomatik,karena lesi dapat menjadi rapuh ketika berprofesi selam kehamilan atau mengganggu proses persalinan. Krioterapi dan trikloroasetik asid merupakan terapi yang di rekomendasikan. Karena area genital sangat vaskuler selam kehamilan dan perdarahn berlebihan dapat pada elektrokauterisasi, direkomendasikan terapi kauterisasi, jika di indikasikan, di lakukan di rumah sakit. Imikuimod,5-fluorourasil, podofilin, dan podofilrfeoktoksin di kontraindikasikan pada kehamilan. 
7.                  Herpes genitalis
Herpes genitalis(HG) merupakan IMS virus yan menempati urutan kedua tersering di dunia  dan merupakan penyebab ulkus genital tersering di negara maju virus herfes simpleks tipe-2(VHS-2) merupakan penyebab HG tersering (82%), sedangkan virus herpes simpleks tipe-1 (VHS-1) yang lebih sering di kaitkan dengan lesi di mulut dan bibir, ternyata dapat pula di temukan pada 18% kasus herfes genital.
Manifestasi klinik HG sangat di pengaruhi oleh faktor pejamu, pajanan VHS sebelumnya, episode terdahulu dan tife virus. Masa inkubasi umumnya berkisar 3-7 hari, bahkan dapat lebih lama. Predileksi pada perempuan dapat di temukan di daerah labya mayor/minor, klitoris, introitus vagina dan serviks, sedangkan yang lebih jarang di derah perianan, bokong, dan mons pubis.
Episode yang pertama HG dapat primer maupun non-primer. Episode pertama primer adalah episode penyakit yang terdapat pada seseorang tanpa di dahului oleh pajanan/ infeksi VHS-1 maupun VHS-2 sebelunya. Sementara itu , episode pertama non-primer dapat merupakan : (1) episode penyakit yang terjadi pada seseorang dengan riwayat pajanan / infeksi VHS-1 atau VHS-2 sebelumnya, atau (2) reaktifasi dari inveksi genital asimptomatik, atau (3) infeksi genital pada seseorang dengan riwayat infeksi orolabialis sebelumnya.
Manifestasi klinik yng timbul bervariasi dari ringan sampai berat. Gejala biasanya diawali dengan rasa terbakar dan gatal di daerah lesi yang terjadi beberapa jam sebelumnya timbulnya lesi. Selain itu, dapat pula di sertai gejala konstitusi  seperi malese, demam dan nyeri otot. Lesi tipikal berupa vesikel berkelompok  engan dasar eritema yang mudah pecah dan menimbulkan erosi multipel. Kelenjar getah bening regional dapat membesar dan nyeri. Masa pelepasan virus pada infeksi primer terjadi kurang lebih 12 hari., infeksi oral VHS-1 terdahulu akan memberkan perlindungan parsial terhadap pajanan infeksi VHS-2, sehingga gejala klinik akibat infeksi VHS-2 sehingga gejala klinik akibat infeksi VHS-2 menjadi lebih ringan atau subklinik.
Lesi rekuren dapat terjadi dengan gejal klinik umumnya lebih ringan, penyembuhan lebih cepat, dan masa pelepasan virus berlangsung kurang dari 5 hari. Herfes genitalis rekulen dapat hanya berupa fisura yang cepat hilang tanpa gejala.rekulensi HG oleh virus VHS-2 lebih sering di bandingkan VHS-1. Umumnya rekurensi lebih sering terjadi pada satu tahun pertama setelah episode pertama, sedangkan tahun-tahun berikutnya lebih jarang.
Dikenal pula keadaan subklinik /asimptomatik, yaitu keadaan tidak di temukan gejala, terapi pada pemeriksaan serologi di dapatkan antibodi terhadap VHS. Selain itu, lebih kurang 60% kasus di jumpai sebagai lesi atipik, dengan gambaran lesi tidak khas, sehingga tidak diduga sebagai HG.
Transmisi virus dapat terjadi melalui kontak seksual dengan pasangan yang telah  terinfeksi, tetapi juga dapat secara vertikal dari ibu kepada janin yang di kandungnya. Sekitar 70% infeksi pada neonatus terjadi pada saat persalinan ketika bayi berkontak langsung melalui jalan lahir dengan duh vagina ibu yang terinfeksi. Selain itu, infeksi dapat terjadi pada saat janin masih berda di dalam kandungan secara asendens dari serviks atau vulva, maupun transplasental. Transmisi ini juga dapat terjadi pada masa asimptomatik,. Resiko tinggi transmisi pada janin akan terjadi pada keadaan timbul lesi primer pada kehamilan, atau keadaan seronegatif dengan suami seropositif, atau pemakaian alat monitor pada kulit kepala bayi dengan ibu seropositif.
Diagnosis secara klinik di tegakkan dengan adanya gejala khas berupa vesikel berkelompok dengan dasar eritema, dan riwayat gejala serupa berulang. Pemeriksaan laboratorium paling sederhana adalah uji tzank, akan tetapi sensetifitas dan spesifisitas pemeriksaan ini umumnya rendah. Deteksi VHS dengan kultur masih merupakan pemeriksaan baku emas untuk infeksi VHS genital dini. Pemeriksaan ELISA merupakan pemeriksaan untuk menentukan adanya antigen atau antibodi VHS dalam seru penderita. Perlu di perhatikan bahwa tes serologi IgM dan IgG tidak dapat dipakai sebagai pedoman untuk menentukan saat terjadinya pelepasan virus (viral shedding).
Penatalaksanaan HG pada kehamilan dapat di bedakan antara perempuan hami dengan episode primer dan perempuan hamil dengan episode rekuren. Pengobatan  dengan asiklovir harus di berikan kepada semua perempuan yang menderita HG episode primer dalm kehamilan. Terapi sepresif dengan asiklovir pada 4 minggu terakhir kehamilan dapat mencegah rekurensi HG pada saat partus. Dianjurkan untuk di lakukan seksio sesarea terhadap semua perempuan hamil yang datang dengan HG lesi primer pada ssaat menjelang kelahiran, namun tidak di anjurkan untuk perempuan yang terserang HG lesi primer pada trimester pertama ataupu kedua.
HG rekurens di hubungkan dengan resiko yang kecil mendapat herfes neonatus. Pada keadaan perempuan hamil menjelang partus dan terdapat lesi HG rekurens, bukan merupakan indikasi mutlak untuk melakukan seksio sesarea.
Dosis asiklovir / valassiklovir yang di anjurkan untuk infeksi primer
·         Asiklovir peroral 5 x 200 mg/hari selam 7 hari pada lesi berat asiklovir i.v. 3-5 mg/kgBB/ hari, selam 7-10 hari atau
·         Valasiklovir 2 x 500 mg/hari selama 7 hari.

Untuk infeksi rekurens
·         Asiklovir 5 x 200 mg/hari selam 5 hari atau
·         Valasiklovir 2 x 500 mg/hari selam 5 hari.
Pengobatan untuk neonatus dengan infeksi VHS dapat di berikan asiklovir 10 mg/kgBB/hari intravena tiap 8 jam selam 10-21 hari.

8.              Infeksi HIV dan AIDS
Acquired immunodeficiency syndrome (AIDS) adalah sindroma dengan gejal penyakit infeksi oportunistik atau kanker tertentu akibat menurunya sstem kekebalan tubuh oleh infeksi Human Immunodeficiency Virus (HIV).
Virus masuk kedalam tubuh manusia terutama melalui perantara darah, semen, dan sekret vagina. Sebagian besar(75%) penularan terjadi melalui hubungan seksual. HIV awalnya di kenal dengan nama lhymphadenopathy associated virus (LAV) merupakan golongan retrovirus dengam materi genetik ribonucleic acid (RNA) yang dapat di ubah menjadi deoxyribonucleic acid (DNA) untuk di integrasikan kedalam sel pejamu dan di proggram membentuk gen virus. Virus ini cendrung menyerang sel jenis tertentu, yaitu sel-sel yang mempunyai antigen permukaan CD4, terutama limposit T yang memegang peranan penting dalam mengatur dan mempertahan kan sistem kekebalan tubuh.
            Infeksi HIV memberikan gambaran klinik yang tidak spesifik dengan spektrum yang lebar, mulai dari infeksi tanpa gejala (asimptomatik) pada stadium awal sampai pada gejala-gejala yang berat pada stadium yang lebih lanjut. Setelah di awali dengan infeksi akut,akan dapat terjadi kronik asimtomatik selam beberapa tahun di sertai replikasi virus secara lambat. Kemudian setelah terjadi penurunan sistem imun yang berat, maka terjadi berbagai infeksi oportunistik dan dapat di katakan pasien telah masuk pada keadaan AIDS. Perjalanan penyakit lambat dan gejala-gejala AIDS rata-rata baru timbul 10 tahun sesudah infeksi pertama, bahkan bisa lebih lama lagi.
            Transmisi vertikal merupakn penyebab tersering infeksi HIV pada bayi dan anak-anak di amerika serikat. Transmisi HIV dari ibu kepada janin dapat terjadi intrauterin (5-10%), saat persalin (10-20%) dan pascapersalinan (5-20%). Kelaina yang dapat terjadi pada janin adalah berat badan lahir rendah, bayi lahir mati, partus preterm, dan abortus spontan.
            Tingkat infeksi HIV pada perempuan hamil di negara-negara asia si perkirakn belum melebihi 3-4%, tetapi epideminya berpotensi untuk terjadi lebih besar. Penelitian prevalensi HIV pada ibu hamil di daerah miskin di jakarta pada tahun 1999-2001 oleh kharbiati mendapatkan angka prevalensi sebesar 2,86%.
            Pada tahun 1999 The institute of medicine (IOM) telah merekomendasikan pemeriksaan HIV untuk semua perempuan hamil sepengetahuan perempuan tersebut, disertai hak pasien untuk menolak. Rekomendasi ini juga diadopsi oleh American Academy of Pediadtrics, American college of obstetricians and Gynecologist, serta united states public health services (USPHS).
            Antibodi virus mulai dapat di deteksi kira-kira 3 hingga 6 bulan sesudah infeksi. Pemeriksaan konfirmasi menggunakan western blot (WB) cukup mahal, sebagai penggantinya dapat dengan melakukan 3 pemeriksaan ELISA sebagai tes penyaring mamakai reagen dan tehnik berbeda
            Telah banyak bukti menunjukan bahwa keberadaan IMS meningkatkan kemudahan seseorang terkena HIV, sehingga IMS dianggap sebagai kofaktor HIV. Oleh karena itu, supaya pengendalian infeksi HIV dapat di laksanakan dengan melakukan pengendalian IMS.

Geen opmerkings nie:

Plaas 'n opmerking